Fenomena Quiet Quitting di Jepang: Mengubah Budaya Kerja Demi Keseimbangan Hidup

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “quiet quitting” telah menjadi sorotan di berbagai negara, termasuk Jepang. Istilah ini mengacu pada fenomena di mana karyawan memilih untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan deskripsi tugas mereka saja, tanpa terlibat lebih jauh atau memberikan usaha ekstra yang biasanya diharapkan oleh perusahaan. Fenomena ini menunjukkan perubahan dalam sikap kerja, khususnya di Jepang yang dikenal dengan budaya kerja kerasnya.

Apa Itu Quiet Quitting?

Quiet quitting bukan berarti karyawan benar-benar berhenti dari pekerjaan mereka. Sebaliknya, mereka berhenti untuk berusaha melampaui ekspektasi minimum. Para pekerja ini biasanya tetap hadir di kantor dan menyelesaikan tugas-tugas yang diperlukan, namun mereka menolak untuk bekerja lebih dari jam kerja yang ditentukan atau mengambil tanggung jawab tambahan tanpa kompensasi yang jelas.

Alasan di Balik Tren Quiet Quitting di Jepang

  1. Kelelahan Kerja (Burnout): Banyak pekerja Jepang mengalami kelelahan akibat jam kerja yang panjang dan tekanan kerja yang tinggi. Quiet quitting menjadi cara untuk menjaga kesehatan mental dan fisik mereka.
  2. Pencarian Keseimbangan Hidup: Generasi muda Jepang semakin menyadari pentingnya keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi. Mereka tidak lagi tertarik untuk mengorbankan waktu pribadi demi karier.
  3. Pandemi COVID-19: Pandemi memaksa banyak perusahaan untuk mengadopsi sistem kerja jarak jauh, yang memberi kesempatan bagi pekerja untuk mengevaluasi kembali prioritas hidup mereka. Banyak yang menemukan bahwa mereka bisa produktif tanpa harus bekerja lembur di kantor.
  4. Perubahan Nilai Sosial: Nilai-nilai sosial di Jepang juga mengalami pergeseran. Generasi muda lebih mementingkan kualitas hidup dan kebahagiaan pribadi dibandingkan prestasi karier semata.

Dampak Quiet Quitting

  1. Produktivitas Perusahaan: Meskipun quiet quitting mungkin tampak seperti cara untuk menjaga kesejahteraan pekerja, hal ini bisa berdampak pada produktivitas perusahaan. Tugas-tugas tambahan yang biasanya dilakukan oleh karyawan secara sukarela mungkin tidak terselesaikan.
  2. Hubungan Pekerja dan Manajemen: Fenomena ini dapat menimbulkan ketegangan antara pekerja dan manajemen. Perusahaan mungkin merasa karyawan tidak berkomitmen, sementara karyawan merasa perusahaan tidak menghargai kontribusi mereka dengan cukup.
  3. Perubahan Kebijakan Kerja: Untuk mengatasi quiet quitting, beberapa perusahaan mulai memperkenalkan kebijakan yang lebih fleksibel dan menghargai keseimbangan kerja-hidup. Contohnya adalah pengurangan jam kerja, fleksibilitas waktu kerja, dan peningkatan kompensasi untuk pekerjaan tambahan.

Upaya Mengatasi Quiet Quitting

  1. Meningkatkan Kesejahteraan Karyawan: Perusahaan dapat mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan, seperti menyediakan program kesehatan mental dan fisik, serta menciptakan lingkungan kerja yang lebih suportif.
  2. Transparansi dan Komunikasi: Komunikasi yang terbuka dan transparan antara manajemen dan karyawan dapat membantu mengidentifikasi masalah sejak dini dan mencari solusi bersama.
  3. Penghargaan dan Pengakuan: Memberikan penghargaan dan pengakuan kepada karyawan yang berprestasi dapat meningkatkan motivasi dan loyalitas mereka.
  4. Pelatihan dan Pengembangan: Memberikan kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan keterampilan dan karier mereka dapat meningkatkan kepuasan kerja dan komitmen mereka terhadap perusahaan.

Quiet quitting merupakan refleksi dari perubahan signifikan dalam dunia kerja, terutama di Jepang yang memiliki budaya kerja yang sangat intens. Fenomena ini mengingatkan perusahaan akan pentingnya menjaga kesejahteraan karyawan dan menciptakan lingkungan kerja yang seimbang. Dengan mengadopsi kebijakan yang lebih fleksibel dan memperhatikan kebutuhan karyawan, perusahaan dapat mengurangi dampak negatif dari quiet quitting dan membangun hubungan kerja yang lebih harmonis.

Sahrul Ramadhan

See all author post

Leave a Reply

Back to top